Konflik yang terjadi di daerah - daerah sering diidentikkan dengan konflik
fisik yang cenderung dengan penggunaan kekerasan terhadap musuhnya.
Berawal dari hanya permasalahan jati diri orang-perorang akhirnya berkembang
mewakili jati diri golongan atau kelompok untuk menghancurkan pihak lawan atau
memenangkan konflik tersebut.
Kerusuhan malam lebaran Idul Fitri di Desa Airbara seperti yang disebutkan sebelumnya disebabkan karena tanah kelahiran orang Melayu Bangka yang tinggal di Desa Airbara terasa diinjak-injak kehormatannya oleh suku bangsa lain yang hanya pendatang, tetapi yang terjadi harus mengorbankan nyawa seorang pemuda Airbara yang terbunuh oleh warga Airsampik walaupun perbuatan korban saat itu bermula dari kasus pemerasan terhadap salah satu warga Air sampik.
Kerusuhan antar penambang timah (ti apung) yang sarat dengan potensi sara di Laut Bubus Belinyu pada akhir Mei 2006 berawal dari perebutan lahan penambangan di Laut Bubus dan Batu Atap saat itu, menambah deret kecemburuan sosial bagi masyarakat Belinyu yang beranggapan bahwa kawasan tersebut adalah milik orang Belinyu, sudah sepatutnya mereka merasakan hasil bumi alamnya, bukanlah untuk dimiliki oleh suku bangsa lain yang hanya datang sebagai tamu saja dan mengeruk keuntungan, lalu pergi begitu saja.
Hubungan antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk
memperebutkan sumber-sumber daya, dan tingkat agretivitas secara ekonomi
dari pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan sumber
daya. Karena masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan
para pendatang sebagai tamunya, ( Parsudi Suparlan, 2005: 178). Yang tak
luput adalah masalah harga diri atau kehormatan mereka.
Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk
solidaritas memperebutkan sumber daya-sumber yang ada dan harga diri
sebagai kekuatan sosial yang besar untuk mendorong mereka melakukan hal
tersebut. Itulah yang terjadi sebenarnya bila ditarik benang merah latar
belakang permasalahan konflik yang terjadi di Pulau Bangka selama ini.
Walaupun sudah terjadi, konflik tersebut harus dapat diredam, didinginkan, dan didamaikan agar tidak terjadi lagi konflik-konflik yang berkelanjutan sesudahnya. Tujuannya tidak lain untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan munculnya konflik-konflik tersebut di atas untuk diselesaikan dengan baik, membicarakannya secara terbuka dengan melibatkan semua warga kedua atau lebih suku bangsa tersebut yang sedang terlibat di dalam konflik dengan memperhatikan aturan-aturan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan peran pihak dari luar atau pihak ketiga yang tidak memihak. Pihak ketiga ini antara lain melalui media pemerintah setempat, baik itu pemda ataupun pejabat pemerintah di tingkat kecamatan, pihak kepolisian, maupun yang berkompeten dalam hal ini yang bisa menyelesaikan konflik. Perdamaian adalah langkah pertama yang harus diambil oleh pihak ketiga ini.
Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani konflik sosial seperti ini, antara lain: Dalam masa pra konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik antar individu yang akan berlanjut menjadi konflik antar kelompok atau golongan. Misalnya perkelahian antar seorang pemuda dari suku yang berbeda, biasanya akan berlanjut ke tingkat yang eskalasi yang lebih besar.
Dalam hal ini polisi cepat tanggap dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke proses hukum terhadap para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain dalam suku tersebut, sehingga pra konflik tidak akan menjadi sebuah konflik sehingga akar permasalahan dapat diketahui. Frekuensi tingkat patroli polisi dan giat-giat perpolisian masyarakat (polmas) ke daerah-daerah rawan pra konflik.
Konflik akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke konflik, giat polmas akan menimbulkan kesadaran hukum akan pentingnya hidup bersosial dan rasa tenteram di dalam kehidupan bermasyarakat, jika muncul perang antar kelompok, maka polisi harus segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding yang berperang.
Namun, semua tindakan tersebut di atas akan menjadi sia-sia apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat di luar dari perdamaian untuk mengembalikan pola-pola keharmonisan hubungan yang baik sebagaimana yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat. Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling harga-menghargai dan hormat-menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama.
Kerjasama ini harus dibina secara berkesinambungan. Pihak ketiga yang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi hubungan tersebut demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar