Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional
economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai
ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri,
menjadi rujukan setiap orang Indonesia.
Jika Pancasila mengandung lima
asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu :
1.
Etika,
2.
Kemanusiaan,
3.
Nasionalisme,
4.
Kerakyatan/demokrasi, dan
5.
Keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model
ekonomi yang disusun.
Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan
keempat sebagai caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi
Pancasila.
Menurut Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal sebagai berikut:
1.
Koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional
2.
Manusia adalah economic man sekaligus social and
religious man.
3.
Ada
kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial.
4.
Prioritas utama kebijakan diletakkan pada penyusunan
perekonomian nasional yang tangguh.
5.
Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat
sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam
cita-cita koperasi.
Ekonomi Pancasila dilihat
dari dalam
Dalam perjalanan republik ini, bisa dikatakan telah terjadi penikungan
sistem ekonomi nasional sehingga Pancasila sebagai dasar negara belum
sepenuhnya menjiwai sistem perekonomian negara ini, baik oleh faktor eksternal
yang dimotori oleh World Bank dan IMF
maupun oleh faktor internal yaitu pemerintah melalui serangkaian kebijakan
ekonominya yang bersifat neoliberal dan kalangan intelektual ekonomi dengan
pemikiran-pemikirannya.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas ekonomi
sebagai gudang pemikiran ilmu ekonomi telah menyumbang 3 kesalahan dalam
pengajarannya yang berperan dalam memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila,
yaitu:
(1)
Bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik
Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocius, tahun 1759)
dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776
(manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
(2)
Metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik
diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktif diabaikan. Hal
demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua
tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak laksana
dua kaki.
(3)
Ilmu ekonomi menjadi spesialistis dan lebih diarahkan
untuk menjadi ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dalam Economic
as A Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan
dari cabang-cabang ilmu berikut:
(a)
Ekonomi sebagai ilmu sosial (social science);
(b)
Ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science);
(c)
Ekonomi sebagai ilmu perilaku (behavioral science);
(d)
Ekonomi sebagai ilmu politik (political science);
(e)
Ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science);
dan
(f)
Ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
Ekonomi Pancasila sebagai Harmonisasi Dua Elemen Kesejahteraan Ekonomi
dan Manifestasi Ekonomika Etik
Kalau ketepatan berpikir disebut logika, ketepatan rasa disebut estetika,
maka ketepatan perilaku disebut etika. Sebagai sebuah perilaku, ekonomi perlu
diiringi dengan etika. Etika yang dimaksud haruslah bersandar pada nilai-nilai
prinsipil kemanusiaan yang tidak menjunjung tinggi individualisme sempit dan
komunalisme kaku.
Ekonomi Pancasila sebagai ilmu ekonomi kelembagaan (institutional
economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila mengandung
5 asas yang mana semuanya mengandung substansi sila Pancasila yaitu
1.
etika,
2.
kemanusiaan,
3.
nasionalisme,
4.
kerakyatan/demokrasi, dan
5.
keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model
ekonomi yang disusun.
Disinilah kelima sila diatas menjadi substansi etika dalam Ekonomi
Pancasila. Kalau sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan rangsangan
moral maka sila 2 sampai 5 menjadi landasan rangsangan sosial ekonomika etik
Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila dengan kata lain merangkum secara tepat
dua elemen utama pencapaian kesejahteraan ekonomi.
Konsep ekonomika etik ekonomi Pancasila oleh Mubyarto dalam bukunya
Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut:
1.
Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi,
moral dan sosial.
2.
Ada
kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan
kemerataan sosial ekonomi.
3.
Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan
ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu
menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.
4.
Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional.
5.
Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme
dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan
keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Nasionalisme sebagai akar ekonomi
Paham nasionalisme dengan kegiatan ekonomi suatu negara sungguh terkait
erat. Perkembangan ekonomi dunia yang semakin pesat telah dimulai semenjak
terjadinya proses pengintegrasian berbagai kawasan di dunia seiring dengan
keberadaan kolonialisme negara Eropa di Amerika, Asia,
dan Afrika antara abad 16 sampai 20 Masehi. Kolonialisme itu sendiri merupakan
manifestasi dari nasionalisme chauvinistik negara-negara Eropa berupa
imperialisme yang berambisi meningkatkan kekayaan nasional (gold), mengukuhkan
peran sebagai aktor pemberadaban dunia baru dengan panduan kitab suci (gospel),
dan mengunggulkan kejayaan dan kebanggaan diri (glory, dan yang oleh Kerajaan
Inggris Raya kemudian diterjemahkan dengan adanya semboyan britain rules the waves and a nation of no sunset).
Globalisasi sebagai suatu isme yang mulai
dianut sebagian besar negara di dunia ini telah menjadi suatu keniscayaan historis
yang tidak terbantahkan meski tersimpan agenda kepentingan nasional negara maju
di dalamnya. Motor paling kuat di balik globalisasi adalah kepentingan ekonomi
murni, yaitu hasrat memaksimalkan profit. Bagaimana pasar di negara berkembang
terbebaskan dari berbagai regulasi dengan serangkaian konsep free trade,
sedangkan produk-produk negara berkembang dibatasi masuk dalam pasar di negara
maju.
Demokrasi ekonomi sebagai bentuk ekonomi sosialis religius
Demokrasi ekonomi tidak kalah pentingnya dengan demokrasi politik.
Demokrasi ekonomi merupakan bentuk ekonomi sosialis religius. Disebut sosialis
karena berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijiwai ruh sosialisme dengan
adanya kepemilikan faktor-faktor produksi hajat hidup orang banyak oleh negara
dan dengan adanya asas kebersamaan yang melandasi kegiatan perekonomian. Namun,
tidak hanya sosialis, demokrasi ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta juga
bercorak religius karena dijiwai oleh Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa tidak ada satupun
agama di dunia yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk menomorsatukan
individualisme. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi ekonomi memiliki basis
ontologis pada tradisi komunalisme yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat
yang berketuhanan dan beragama di nusantara.
Ekonomi kerakyatan sebagai manifestasi demokrasi ekonomi
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ada tiga unsur demokrasi ekonomi yaitu
aspek produksi, aspek distribusi, dan aspek kepemilikan usaha bersama oleh
rakyat. Adapun garis besar substansinya dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati
kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu sejalan
dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap
anggota turut serta menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir
miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34
UUD 1945 yang menyatakan, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara. Wujud kongkrit dari demokrasi ekonomi yaitu dengan tersedianya sistem
jaminan sosial nasional yang mencakup kaum fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Ketiga, kegiatan
produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka
perwujudan demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi
obyek, namun harus diupayakan agar menjadi subyek perekonomian.
Mewujudkan Pemerataan Ekonomi demi Mencapai Perekonomian yang Humanistik
Salah satu tolok ukur sisi humanistik dari ekonomi adalah keadilan. Tidak
adanya diskriminasi bagi setiap warga negara berarti mengakui bahwa dibalik
setiap perbedaan warga negara ada sebuah kesamaan, yaitu sebagai manusia yang
sama-sama memiliki hak dan kewajiban setara yang diakui undang-undang dan
dilandasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Inilah dimensi humanistik dalam perekonomian.
Hal ini ditandai dengan kesamaan peluang dan akses (equal opportunity) bagi
setiap warga negara dalam berekonomi dan menikmati pembangunan ekonomi. Dalam
Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan dari negara Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Keadilan sosial sebagai sila pamungkas Pancasila disini seyogianya juga menjadi
tujuan dari pelaksanaan ekonomi di Indonesia.
Berbicara keadilan maka bisa dilihat dari adanya pemerataan hasil
pembangunan ekonomi di Indonesia
yang mana pembangunan ekonomi merupakan salah satu pilar tumbuhnya rezim Orde
Baru. Pemerintah Orde Baru bukannya tidak berusaha mengatasi ketidaksesuaian
rencana dan hasil pembangunan ekonomi berupa ketimpangan dan belum meratanya
hasil pembangunan. Sejak Pelita III (1979 - 1984) terjadi perubahan pokok.
Trilogi Pembangunan yang pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan,
dan stabilitas. Kemudian sejak Pelita tersebut diubah menjadi pemerataan,
pertumbuhan, dan stabilitas. Disusul pula dengan pencanangan dua pokok
kebijaksanaan pembangunan, yaitu: (1) mengurangi jumlah penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan; dan (2) melaksanakan delapan jalur pemerataan yang
meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh
daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja,
berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh
keadilan.
Pemerataan ekonomi yang akan dicapai tidak hanya untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi yang humanistik, namun juga mengamalkan amanat yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa tujuan negara Indonesia adalah terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar