Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 23 November 2011

Pengertian Ekonomi Pancasila


Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang Indonesia. Jika Pancasila mengandung lima asas, maka semua substansi sila Pancasila yaitu :
1.        Etika,
2.        Kemanusiaan,
3.        Nasionalisme,     
4.        Kerakyatan/demokrasi, dan
5.        Keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun.
Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.
Menurut Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal sebagai berikut:
1.        Koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional
2.        Manusia adalah economic man sekaligus social and religious man.
3.        Ada kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial.
4.        Prioritas utama kebijakan diletakkan pada penyusunan perekonomian nasional yang tangguh.
5.        Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam cita-cita koperasi.

Ekonomi Pancasila dilihat dari dalam
Dalam perjalanan republik ini, bisa dikatakan telah terjadi penikungan sistem ekonomi nasional sehingga Pancasila sebagai dasar negara belum sepenuhnya menjiwai sistem perekonomian negara ini, baik oleh faktor eksternal yang dimotori  oleh World Bank dan IMF maupun oleh faktor internal yaitu pemerintah melalui serangkaian kebijakan ekonominya yang bersifat neoliberal dan kalangan intelektual ekonomi dengan pemikiran-pemikirannya.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto (Kepala PUSTEP UGM), fakultas ekonomi sebagai gudang pemikiran ilmu ekonomi telah menyumbang 3 kesalahan dalam pengajarannya yang berperan dalam memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila, yaitu:
(1)     Bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocius, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
(2)     Metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktif diabaikan. Hal demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak laksana dua kaki.
(3)     Ilmu ekonomi menjadi spesialistis dan lebih diarahkan untuk menjadi ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dalam Economic as A Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari cabang-cabang ilmu berikut:
(a)    Ekonomi sebagai ilmu sosial (social science);
(b)   Ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science);
(c)    Ekonomi sebagai ilmu perilaku (behavioral science);
(d)   Ekonomi sebagai ilmu politik (political science);
(e)    Ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science); dan
(f)    Ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)

Ekonomi Pancasila sebagai Harmonisasi Dua Elemen Kesejahteraan Ekonomi dan Manifestasi Ekonomika Etik
Kalau ketepatan berpikir disebut logika, ketepatan rasa disebut estetika, maka ketepatan perilaku disebut etika. Sebagai sebuah perilaku, ekonomi perlu diiringi dengan etika. Etika yang dimaksud haruslah bersandar pada nilai-nilai prinsipil kemanusiaan yang tidak menjunjung tinggi individualisme sempit dan komunalisme kaku.
Ekonomi Pancasila sebagai ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila mengandung 5 asas yang mana semuanya mengandung substansi sila Pancasila yaitu
1.        etika,
2.        kemanusiaan,
3.        nasionalisme,
4.        kerakyatan/demokrasi, dan
5.        keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun.
Disinilah kelima sila diatas menjadi substansi etika dalam Ekonomi Pancasila. Kalau sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan rangsangan moral maka sila 2 sampai 5 menjadi landasan rangsangan sosial ekonomika etik Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila dengan kata lain merangkum secara tepat dua elemen utama pencapaian kesejahteraan ekonomi.
Konsep ekonomika etik ekonomi Pancasila oleh Mubyarto dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut:
1.        Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial.
2.        Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi.
3.        Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.
4.        Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional.
5.        Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Nasionalisme sebagai akar ekonomi
Paham nasionalisme dengan kegiatan ekonomi suatu negara sungguh terkait erat. Perkembangan ekonomi dunia yang semakin pesat telah dimulai semenjak terjadinya proses pengintegrasian berbagai kawasan di dunia seiring dengan keberadaan kolonialisme negara Eropa di Amerika, Asia, dan Afrika antara abad 16 sampai 20 Masehi. Kolonialisme itu sendiri merupakan manifestasi dari nasionalisme chauvinistik negara-negara Eropa berupa imperialisme yang berambisi meningkatkan kekayaan nasional (gold), mengukuhkan peran sebagai aktor pemberadaban dunia baru dengan panduan kitab suci (gospel), dan mengunggulkan kejayaan dan kebanggaan diri (glory, dan yang oleh Kerajaan Inggris Raya kemudian diterjemahkan dengan adanya semboyan britain rules the waves and a nation of no sunset).
Globalisasi sebagai suatu isme yang mulai dianut sebagian besar negara di dunia ini telah menjadi suatu keniscayaan historis yang tidak terbantahkan meski tersimpan agenda kepentingan nasional negara maju di dalamnya. Motor paling kuat di balik globalisasi adalah kepentingan ekonomi murni, yaitu hasrat memaksimalkan profit. Bagaimana pasar di negara berkembang terbebaskan dari berbagai regulasi dengan serangkaian konsep free trade, sedangkan produk-produk negara berkembang dibatasi masuk dalam pasar di negara maju.

Demokrasi ekonomi sebagai bentuk ekonomi sosialis religius
Demokrasi ekonomi tidak kalah pentingnya dengan demokrasi politik. Demokrasi ekonomi merupakan bentuk ekonomi sosialis religius. Disebut sosialis karena berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijiwai ruh sosialisme dengan adanya kepemilikan faktor-faktor produksi hajat hidup orang banyak oleh negara dan dengan adanya asas kebersamaan yang melandasi kegiatan perekonomian. Namun, tidak hanya sosialis, demokrasi ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta juga bercorak religius karena dijiwai oleh Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk menomorsatukan individualisme. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi ekonomi memiliki basis ontologis pada tradisi komunalisme yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat yang berketuhanan dan beragama di nusantara.

Ekonomi kerakyatan sebagai manifestasi demokrasi ekonomi
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ada tiga unsur demokrasi ekonomi yaitu aspek produksi, aspek distribusi, dan aspek kepemilikan usaha bersama oleh rakyat. Adapun garis besar substansinya dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota turut serta menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Wujud kongkrit dari demokrasi ekonomi yaitu dengan tersedianya sistem jaminan sosial nasional yang mencakup kaum fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Ketiga, kegiatan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka perwujudan demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi obyek, namun harus diupayakan agar menjadi subyek perekonomian.

Mewujudkan Pemerataan Ekonomi demi Mencapai Perekonomian yang Humanistik
Salah satu tolok ukur sisi humanistik dari ekonomi adalah keadilan. Tidak adanya diskriminasi bagi setiap warga negara berarti mengakui bahwa dibalik setiap perbedaan warga negara ada sebuah kesamaan, yaitu sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban setara yang diakui undang-undang dan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Inilah dimensi humanistik dalam perekonomian. Hal ini ditandai dengan kesamaan peluang dan akses (equal opportunity) bagi setiap warga negara dalam berekonomi dan menikmati pembangunan ekonomi. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan dari negara Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial sebagai sila pamungkas Pancasila disini seyogianya juga menjadi tujuan dari pelaksanaan ekonomi di Indonesia.
Berbicara keadilan maka bisa dilihat dari adanya pemerataan hasil pembangunan ekonomi di Indonesia yang mana pembangunan ekonomi merupakan salah satu pilar tumbuhnya rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru bukannya tidak berusaha mengatasi ketidaksesuaian rencana dan hasil pembangunan ekonomi berupa ketimpangan dan belum meratanya hasil pembangunan. Sejak Pelita III (1979 - 1984) terjadi perubahan pokok. Trilogi Pembangunan yang pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Kemudian sejak Pelita tersebut diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Disusul pula dengan pencanangan dua pokok kebijaksanaan pembangunan, yaitu: (1) mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; dan (2) melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan.
Pemerataan ekonomi yang akan dicapai tidak hanya untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang humanistik, namun juga mengamalkan amanat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa tujuan negara Indonesia adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar